iDAN

04 Julai 2010

Ketidakadilan Bola


Oleh Dion DB Putra

SEPAKBOLA dan nasib itu berdekatan satu sama lain. Begitu banyak kebanggaan tergapai, tetapi tak sedikit air mata tercurah di ujung laga. Ada tawa, ada tangis! Demikianlah keadilan bola. Di Accra, ibu kota Ghana, para pendukung tim Bintang Hitam menghujat Luiz Suarez sebagai musuh nomor satu Afrika dan musuh utama sepakbola yang menjunjung tinggi fair play. Di Montevideo, Luiz Suarez dielu- elukan sebagai pahlawan. Berkat tangannya menghadang bola di garis gawang, Uruguay lolos ke semifinal.

“Pertandingan tersebut adalah akhir dari Piala Dunia, jadi saya tidak punya pilihan. Saya memang sengaja melakukan itu meski saya tahu bisa menjadi akhir dari perjalanan kami di Afrika Selatan. Tapi melihat Gyan gagal mengeksekusi penalti, saya sangat gembira. Tuhan telah menolong kami,” kata Suarez.

Biasalah dalam jagat sepakbola, nama Tuhan selalu dibawa-bawa saat berjaya atau terkapar. Lihat saja kebanyakan pemain saat masuk atau keluar lapangan tak lupa membuat tanda salib. Dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Amin.

Di mata tiga juta rakyat Uruguay, Suarez kini dikenang sebagai martir bola! Seandainya Luiz Suarez tidak menahan bola dengan tangannya pada menit ke-118 itu, Uruguay kalah 1-2 atas Ghana dan tidak lolos ke babak semifinal Piala Dunia 2010. Tetapi Suarez melakukan itu dengan sadar meski ia diusir wasit Olegario Benquerenca asal Portugal dan Uruguay pun dihukum tendangan penalti.

Mestinya penalti di detik terakhir laga 120 menit itu menjadi akhir ziarah Uruguay di World Cup 2010 sekaligus memastikan Ghana sebagai tim pertama Afrika yang menembus babak semifinal dalam 80 tahun sejarah Piala Dunia.

Namun, miliaran penonton televisi sejagat dan sekitar 80.000 penonton, sekitar 65 persen pendukung Ghana di Stadion Soccer City, Johannesburg, Jumat (2/7/2010) malam atau Sabtu (3/7/2010) dinihari Wita, hampir tak percaya ketika tendangan penalti Asamoah Gyan membentur mistar gawang Fernando Muslera. Gyan yang biasanya jitu mengeksekusi penalti gagal pada momentum yang menentukan.

Muslera berjingkrak. Luiz Suarez pun mengepalkan tangan bahagia. Rupanya ada “Malaikat Kecil” yang menjaga di mulut gawang Uruguay, mengutip ucapan terkenal bintang Belanda di Euro 2000, Patrick Kluivert. Aksi Suarez dan kegagalan penalti Gyan kemudian menjadi titik balik bagi sukses Uruguay. Pertandingan berakhir 1-1 hingga 120 menit dan pemenang harus melalui adu penalti. Uruguay akhirnya menang 4-2 setelah tembakan dua esekutor Ghana berhasil diblok kiper Fernando Muslera. Saat adu penalti, Gyan sukses menjalankan tugasnya tapi Uruguay yang berpesta. Mereka melaju ke babak empat besar menghadapi Belanda yang dengan gagah perkasa mengirim pulang Brasil lebih awal ke negaranya.

“Malaikat kecil” di mulut gawang Uruguay Jumat malam itu telah menistakan Gyan sebagai pemain paling berdosa untuk negerinya Ghana dan benua Afrika yang sangat mengharapkan wakilnya tetap bertahan di Piala Dunia 2010. Duka Ghana adalah juga duka sekitar satu miliar rakyat Afrika yang berharap penuh agar the Black Stars memberi hasil membanggakan saat Piala Dunia pertama kali di Afrika.

Kekalahan adu penalti sungguh tidak adil bagi Ghana yang bermain jauh lebih baik ketimbang Uruguay. Ghana dicurangi aksi Suarez yang sengaja menangkis bola dengan tangannya. Nasib baik pun tidak memihak mereka saat Gyan mengambil tendangan 12 meter. Dunia menyaksikan dengan perasaan getir ketika Gyan terkulai di lapangan sambil menangis saat wasit Olegario Benquerenca meniup peluit akhir.

Gyan menanggung beban psikologis sangat berat. Dia menjadi pahlawan timnya sejak penyisihan grup. Justru di laga penting melawan Uruguay, Asamoah Gyan menjadi biang kehancuran. Tangis dan tawa memang sangat tipis dalam sepakbola.

Kesedihan Gyan persis sama dengan perasaan bek Jepang, Yuichi Komano yang gagal mengesekusi penalti ke gawang Paraguay di babak 16 besar. Hati Komano hancur-lebur karena dialah penyebab kegagalan Jepang. “Saya terus menunduk dan menangis. Mengapa bisa sebodoh itu untuk sesuatu yang sudah biasa saya lakukan dengan baik sebelumnya,” kata Komano. Jepang bermain luar biasa menghadapi Paraguay. Namun, nasib baik bukan milik negeri Sakura itu.

Setiap kali menghadapi nasib buruk sebagaimana menimpa Jepang dan Ghana di Piala Dunia 2010, penalti kembali “dikutuk” sebagai cara tidak adil meraih sebuah kemenangan. Sejak lama para pengamat dan pakar sepakbola menilai begitu adu penalti, maka sepakbola pun tak ubahnya seperti adu untung. Berjudi. Main lotre.

“Tiadakan saja adu penalti yang kejam dan tidak manusiawi ini. Tuan-tuan di FIFA harus mengubah aturannya. Cari cara lain yang lebih obyektif,” kata pemain legendaris Inggris, Boby Robson setelah Inggris disingkirkan Jerman Barat 4-3 (1- 1, 0-0) lewat drama adu penalti di semifinal Piala Dunia 1990 di Stadion Delle Alpi Turin 4 Juli 1990. “Di ruang ganti saya melihat pemain menangis. Saya juga tak dapat menahan air mata. Kita tidak terkalahkan, tapi kita gagal ke final. Di semifinal kita bermain gemilang, toh terjungkal gara-gara penalti sialan itu,” kata Robson.

Menurut Robson, pemain yang gagal penalti pada momentum penting akan memikul beban psikologis sepanjang kariernya. Merasa malu dan bersalah. Benarkah Ghana kalah? Bukankah kekalahan itu terletak dalam kegagalan Gyan menembak penalti pada menit ke-119? Begitulah gumam kesedihan jutaan penggemar Ghana. Perasaan tidak adil serupa pun menghiasi langit Jepang. Kasihan Komano!

Mengharapkan FIFA mengubah penalti sebagai cara memenangkan pertandingan agaknya sulit terwujud dalam waktu dekat. FIFA terkenal konservatif dan tidak mau mengubah tradisi yang sudah bertahan hampir satu abad.

Penalti sebagai adu untung itu membuat banyak pemain bola, termasuk pemain bintang sekalipun angkat tangan kalau merasa tidak siap secara mental. Pelatih Jerman (Barat) yang sukses di Piala Dunia 1990, Franz Beckenbauer mengakui itu. “Sangat sulit mencari pemain yang mau mengambil penalti. Maka pedoman saya simpel saja, hanya siapa yang punya kepercayaan diri dan bersedia, itulah yang saya pilih sebagai algojo,” kata Sang Kaisar bola itu.

Kekuatan mental merupakan kunci sukses menendang bola dari titik putih. Maka terlepas dari “skandal” Luiz Suarez dan keyakinan Muslera tentang “Malaikat Kecil” menjaga mulut gawangnya saat Gyan menyepak jabulani di Soccer City, lima alogojo Uruguay memang lebih siap secara mental ketimbang Ghana yang baru beberapa menit sebelumnya terpukul dengan kegagalan Gyan. Keadilan bola punya cara yang unik sekaligus misterius. Kadang menyakitkan! Tapi di situlah magnet bola yang akan terus menyihir dunia hari ini, besok dan lusa.*

Baca juga apa iDAN tulis & komen tentang Suarez ini