iDAN

05 Oktober 2010

Siapa kata perempuan tak handal (Singgahsana)


1. Peserta wanita negara kita dalam upacara angkat berat tak dapat pingat; tetapi dapat di tempat keempat. Biarpun Zaira Zakaria tak sehebat Badang Aricco Jumitih namun aku teruja tenguk bagaimana wanita Augustina Nwaokolo dari Nigeria boleh angkat hampir 100kg biar pun badannya amat kecil tak nampak ototnya sesasa lelaki. Hebat wanita di Sukan Komenwal.

2. Jika kita ke jalan raya, perhatikan kenderaan yang sesak di bandaraya. Hampir lebih 50% dipandu oleh wanita. Tak kiralah kenderaan biasa atau bas sekali pun. Wanita tidak lagi duduk di dapur mereka telah berlumba membantu keluarga mencari rezeki.

3. Jangan ceritalah dalam kerjaya pengajaran; cikgu di sekolah rendah atau menengah seantero negara; Kaum lelaki makin terpinggir, boleh dikatakan 80% adalah Guru wanita yang menakluki kerjaya perguruan. Begitu juga jawatan Jururawat. Jika ada pun Jururawat lelaki boleh dibilang dengan jari.

4. Aku berkerja di IPTA selama 28 tahun pun terasa akan kebanjiran wanita dalam jurusan akademik. Bukan setakat Kumpulan Sokongan, Kumpulan Akademik jua makin tinggi peratusnya dibolot oleh kaum wanita. Malahan ramai ketua dalam pelbagai jabatan dimiliki oleh wanita.

Isunya nan aku bangkit ini tentunya sampai kita terfikir ada negara yang memilih wanita sebagai teraju negara. Perdana Menteri. Sedangkan kita sering terbaca di kitab agama kita. Ketua sewajarnya dimiliki oleh kaum lelaki.

Apatah lagi Ketua Keluarga.

******

Jangan sampai kita jadi negara sekrisis ini.

berat mata memandang berat lagi bahu memikul...

iDAN

Ini saya petik dari pendapat ulamak di Indonesia; saya sendiri tak pasti mereka memegang fahaman atau Mazhab mana; bagi kita di Malaysia yang memegang Mazhab Syafie pastinya ada pandangan & pendapat berbeda tentang Perempuan memegang teraju negara.

Syarat Utama Kepala Negara

Islam telah menyebut jabatan Kepala Negara dengan istilah Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin. Khalifah adalah orang yang mewakili ummat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan dalam rangka menerapkan sistem hukum Islam. Sebab Islam telah menjadikan urusan yang berhubungan dengan pemerintahan dan kekuasaan itu berada di tangan ummat (as sulthan lil ummah). Dan ummat mewakilkannya kepada seseorang untuk menjalankan urusan tersebut. Jadi Khalifah (Kepala Negara) itu benar-benar diangkat oleh kaum muslimin.

Penetapan seseorang sehingga sah dan di mata hukum dianggap legal sebagai Khalifah diperoleh setelah ia di-bai'at oleh kaum muslimin yang telah memilihnya agar ia bersedia menjalankan seluruh urusan ummat ini dalam pemerintahan dan kekuasaan berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Tanpa prosedur bai'at yang dilakukan oleh kaum muslimin dan diredai oleh mereka, maka tidaklah sah jabatan kekhilafahannya itu.

Adapun mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk jabatan kekhilafahan atau berselisih dan beradu argumen tentang siapa yang paling layak sebagai Khalifah hukumnya mubah. Disamping tidak ada satupun nash yang melarang beradu argumen atau berselisih tentang siapa yang paling layak dari kaum muslimin untuk menduduki jabatan kekhilafahan, terdapat juga bukti-bukti yang dicontohkan oleh generasi pertama kaum muslimin sebagai Ijma Shahabat (Kesepakatan menyeluruh sahabat tentang suatu hukum). Pada saat pemilihan dan penetapan Khalifah yang pertama beberapa saat setelah Rasulullah saw. wafat, kaum muslimin saat itu telah berdebat tentang siapa yang paling layak menjabat pengganti Rasulullah dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan. Peristiwa pencalonan dan pemilihan yang paling sederhana di dunia? di balai pertemuan Saqifah Bani Sa'idah itu telah menghasilkan kepala negara yang luhur.

Adapun syarat-syarat utama (syarat in'iqaad ) orang yang berhak atas jabatan kekhilafahan adalah:

Pertama, muslim. Islam melarang kaum muslimin menyerahkan atau memilih orang-orang kafir sebagai penguasa, apalagi sebagai kepala negara yang memimpin ummat. Bagaimana mungkin seseorang yang kafir memimpin ummat dengan menerapkan sistem hukum Islam, sementara ia berbeda aqidah dan keyakinannya? Dan Allah SWT telah berfirman :

"(Dan) Allah sekali-kali tidak akan menjadikan (memberikan) jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin." (QS. An Nisa : 141).

Penggunaan lafazh 'lan' dalam ayat di atas --menurut bahasa Arab digolongkan pada nahyu at ta'bid-- menunjukkan indikasi larangan yang bersifat selamanya alias tetap. Ini berarti diharamkan secara tegas oleh Allah SWT atas kaum muslimin untuk mengangkat pemimpin atau Khalifah (Kepala Negara) yang berasal dari orang-orang kafir.

Disamping itu terdapat lafazh-lafazh dalam Al Quran yang menunjukkan bahwa penguasa (Ulil Amri) harus berasal dari kaum muslimin, bukan orang kafir. Firman Allah SWT :

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian..." (QS. An Nisa 59).

Kedua, laki-laki. Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Bakrah bahwa tatkala mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara Persia kepada Putri Kisra --setelah bapaknya meninggal, Rasulullah saw. bersabda: 'Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka kepada seorang wanita." (HR. Bukhari).

Ketiga, Baligh. Islam melarang seseorang yang belum baligh (anak-anak) diangkat menjadi Khalifah. Sabda Rasulullah saw :

"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas orang yang tidur hingga ia terbangun, atas anak kecil hingga ia baligh dan atas orang gila hingga ia waras." (HR. Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib ra).

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang anak kecil dengan sendirinya tidak sah mengurus urusannya sendiri, apalagi mengurus urusan orang lain (kaum muslimin). Padahal urusan ummat itu adalah urusan yang berat lagi rumit, sementara seorang anak kecil masih diurus oleh orangtua atau walinya.

Keempat, Berakal. Tidak sah dan tidak pantas apabila orang gila menjabat sebagai kepala negara. Berdasarkan hadits di atas, yaitu :

"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) -salah satunya- atas orang gila hingga ia waras (sembuh)."

Sebab akal menjadi manath (tempat) pembebanan hukum serta menjadi syarat sahnya mengatur berbagai urusan. Sementara tugas seorang Khalifah itu adalah mengatur dan memelihara urusan rakyat, kekuasaan dan pemerintahan. Dan orang gila adalah orang yang tidak mampu serta tidak pantas mengurus urusan dirinya sendiri.

Kelima, Adil. Artinya orang yang konsisten (istiqamah) dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga sikap-sikap peribadinya di tengah-tengah masyarakat). Jadi tidak sah orang yang sering melakukan kefasikan menjabat sebagai kepala negara, apalagi ia orang yang zhalim atau munafik. Dalam perkara persaksian saja (yang tergolong perkara ringan dibandingkan dengan perkara kehilafahan), Allah SWT mensyaratkan saksi bersifat adil, sebagaimana firmanNya:

"Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari antara kamu sekalian." (QS. At Thalaq 2)

Maka tentu saja perkara kekhilafahan adalah perkara yang lebih tinggi yang mengharuskan orang yang menjabatnya memiliki sifat adil.

Keenam, Merdeka. Maksudnya tidak layak sorang kepala negara berasal dari hamba sahaya (budak), karena ia adalah milik tuannya serta berada di bawah kekuasaan tuannya. Ia tidak memiliki wewenang untuk mengatur setiap urusan rakyatnya, bahkan ia tidak berwenang untuk mengatur urusannya sendiri. Semuanya ditentukan oleh tuannya. Maka bagaimana mungkin ia mampu menjabat kepala negara?

Ketujuh, Mampu. Kepala negara harus mampu menjalankan amanat kekhilafahan. Sebab ini termasuk syarat yang diminta saat bai'at adalah kesanggupan atau kemampuannya untuk menjalankan sistem hukum Islam yang berlandaskan al-Quran dan Sunnah. Jika ia tidak mampu karena suatu sebab, misalnya terdapat tekanan dari militer atau dari kelompok politik tertentu, atau terdapat tekanan dari negara besar seperti AS atau negara Barat lainnya, maka otoritas dan kesanggupannya sebagai kepala negara yang mampu memutuskan suatu perkara yang menyangkut urusan rakyat tanpa ada tekanan dari pihak manapun diragukan, yang berarti kesanggupannya amat diragukan.

Meragukan hadits Rasulullah saw.?

Dari ketujuh persyaratan kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam yang mesti dianut kaum muslimin secara universal, dapat kita fahami penolakan KH. Syamsuri Badawi terhadap koalisi PKB-PDI Perjuangan. Dan jelas bahwa program menjadikan wanita sebagai kepala negara kaum muslimin, baik Megawati atau wanita siapapun, tak dapat dibenarkan dalam sistem pemerintahan Islam. Jadi hukumnya haram bagi kaum muslimin mengangkat seorang wanita menjadi kepala negara berdasarkan sabda Rasulullah saw.

'Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan/ kekuasaan) mereka kepada seorang wanita." (HR. Bukhari).

Bagi kaum muslimin, petunjuk Rasulullah saw. yang merupakan uswatun hasanah (QS. Al Ahzab 21) tak bisa ditawar lagi. Karena hal itu merupakan manifestasi dari keimanannya yang bakal dimintai pertanggungjawaban di hari akhirat kelak.

Memang ada yang mempersoalkan kesahihan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari itu --dan ini termasuk hal aneh dalam wacana ilmu hadits-- dengan sangkaan bahwa sahabat Abu Bakrah itu kurang bersih. Kritik atas hadits tersebut datang dari kelompok feminis yang "menugaskan" salah seorang "ulama" wanita mereka, Fatima Mernisi (Republika, 21/4/95) yang telah menuduh sahabat Abu Bakrah sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran, kiranya, pernah melakukan tuduhan palsu dalam suatu kasus zina di masa Khalifah Umar. Namun demikian sebenarnya itu hanyalah persepsi yang salah dari Fatima Mernisi lantaran memiliki "female bias". Kitab-kita Rijal seperti Tahdibul Kamal fi Asmaa-ir Rijal, Thabaqat Ibnu Sa'ad, Al Kamil fit Tarikh Ibnul Atsir dan lain-lain secara jelas mengemukakan bahwa sahabat Abu Bakrah adalah seorang sahabat, yang alim, dan perawi yang terpecaya (tsiqah).

Khatimah

Demikianlah Islam telah menjelaskan syarat-syarat seseorang dapat dicalonkan atau menjabat sebagai kepala negara atas kaum muslimin. Termasuk dalam syarat itu, kepala negara haruslah seorang laki-laki. Hal ini dijelaskan oleh Islam agar ummat terhindar dari kehancuran sosial dan politik, andai saja mereka mengerti dan tunduk kepada sistem hukum Islam yang agung.

Sayangnya, sebagian besar ummat adalah orang-orang yang terbius dengan gemerlapnya demokrasi dan terlena dengan slogan reformasi, yang melupakan rambu-rambu dan petunjuk Islam dalam menuntun kehidupan bernegara dan bermaysrakat. Dengan dalih demokrasi mereka menentukan sendiri pilihan-pilihannya, bahkan dengan dalih demokrasi pula masyarakat diberi wewenang untuk menentukan arah hidup bermasyarakat maupun bernegara. Disamping itu atas nama musyawarah untuk mufakat mereka berdalih keputusannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena --menurut mereka-- Islam malah mendorong musyawarah.

Padahal Demokrasi tak sama dengan musyawarah atau syura. Demokrasi adalah berkumpulnya suara untuk membuat hukum rekaan manusia. Sedangkan syura dalam Islam adalah berkumpulnya suara untuk melaksanakan hukum Islam. Syura bukan untuk membuat hukum lantaran hukum telah dibuat oleh Allah SWT. Dan dialah satu- satunya Zat yang berhak dan layak membuat hukum bagi manusia. Allah SWT berfirman :

"Sesungguhnya (wewenang) untuk menentukan hukum itu hanya berada di (tangan) Allah). Dia memerintahkan agar kalian tak menyembah selain dia" (QS. Yusuf 40).

Rasulullah saw. telah menasihatkan agar perasaan ummat tetap tunduk di bawah kendali aqidah dan syariat Islam, jika memang ummat menghendaki keselamatan di dunia dan akhirat. Sabda Rasulullah saw :

"Tidak beriman seseorang hingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu hukum syariat Islam)" (lihat Hadits Arba'in an Nawawiyah, no.40, atau Fathul Bari, jilid XIII, hal.289).