iDAN

07 Februari 2015

Bolehkah atau Sujud Di Atas Sajadah?



Assalamualaikum

Apakah sah menaruh dahi di atas sajadah ketika kita sujud dalam solat kita ...??

Kesaksian Sahabat tentang bagaimana sujudnya Rasulullah SAW:

1. Al-Wâil bin Hajar berkata: "Aku melihat Rasulullâh Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah".
2. Ibnu 'Abbâs berkata: "Sesungguhnya Nabi Saw pernah melakukan sujud di atas batu".
3. 'Âisya berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika shalât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan sujud".
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah bagi kita dengan kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya beliau melakukan sujud di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang mulia di atas tanah.
4. Abû Sa'îd al-Khudrî berkata: "Aku melihat Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air".
5. Abu Hurairah berkata: "Aku melihat Rasullah Saw melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah".

Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan nama Imâm Syâfi'î di dalam kitabnya yang terkenal yaitu al-Umm, beliau mengatakan bahwa: "Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allâh".

Awal mula bid’ah Sajadah masuk Masjid :

1. Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ 'Ulumûddîn berkata: "Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid'ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud".
2. Qatâdah berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata: "Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari (sejenis tikar)".
3. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz pernah menulis surat kepada 'Udaî bin Artâh. Ia berkata: "Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku nasihatkan janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena sesungguhnya ia salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan dari orang yang berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu, ia telah membuat kerosakan".

Kapan Sajadah dikenal (secara umum)

Masjid-masjid hingga pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari dengan permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan untuk itu.

Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari'at Islâm dan tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung. Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas karpet atau permadani itu adalah termasuk bid'ah.

Oleh karena itu, ketika terik panas para sahabat Nabi Saw - sebagaimana dalam riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata: "Sesungguhnya masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap menggunakan tanah atau batu-batu kecil".

Sehubungan dengan masalah sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada ensiklopedia Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa: "Istilah sajadah tidak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur'ân dan hadits-hadits yang sahih. Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan hadits-hadits tersebut".

Ibnu Batutah mengatakan di dalam kitabnya Rihlah Ibnu Batutah berkata: "Orang-orang pinggiran kota Kairo Mesir telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan shalât Jum'at. Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan menghamparinya untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat dari pelepah-pelepah daun korma".


Dia menambahkan: "Penduduk kota Mekkah pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah) melakukan solat di Masjid Jâmi' dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji banyak membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar salib) dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke Mesir dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang kaya, di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke kiblat.

Syaikh Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya Ittihaful Muttaqin berkata: "Musallî hendaknya tidak melakukan solat di atas sajadah atau permadani yang bergambar dan dihiasi dengan beragam gambar yang menarik. Karena hal itu membuat si musâlli tidak khusyu' di dalam solatnya, karena perhatiannya akan tertuju pada warna-warni sajadah itu. Kita telah tertimpa bencana dengan permadani-permadani Romawi itu yang kini digelar di masjid-masjid dan rumah-rumah yang dipakai untuk shalât, sehingga kebiasaan bid'ah itu telah membuat orang yang melakukan salat di tempat lainnya dianggap tidak sah dan kurang sopan". Lâ Hawla wa lâ Quwwata îllâ Billâh.

Kuat dugaan bahwa semua ini adalah akibat ulah dan perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah mengutuk mereka – yang telah memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum muslimin sedang mereka lalai dan lengah dari tipu daya musuh-musuh tersebut. Lebih aneh lagi, aku (syaikh Murtada.. pen) pernah melihat di sebuah masjid yang berhamparkan permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal inilah yang membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah perbuatan dan tipu-daya orang-orang Nasrani".

Jadi jelaslah bahwa meletakkan dahi di atas tanah ketika solat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di dalam syari'at Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud apabila dahinya itu tidak menyentuh tanah secara langsung.

LALU BAGAIMANA DENGAN SUJUD-SUJUD YANG SELAMA INI SAYA LAKUKAN SEBAB KITA SELALU  MEMAKAI  SAJADAH.?

Wassalam,
Muhammad Furqan, Kemayoran, Jakarta

JAWABAN
Wa'alaikum salam wr.wb.

Terima kasih ustadz Furqan atas pertanyaannya. Jazakumullah khairal jazaa. Selintas apabila kita memperhatikan hadits-hadits dan argument di atas nampak seolah membenarkan anggapan itu bahwa sujud harus di atas tanah, tidak boleh dihalangi oleh penghalang lainnya, termasuk sajadah atau tikar.
Namun, tentu untuk menetapkan sebuah hukum kita tidak boleh hanya melihat satu pihak atau beberapa hadits saja. Kita harus berupaya membaca semua hadits yang berkaitan dengan itu, termasuk bantuan pendapat para ulama akan hal itu, kemudian mengkajinya dengan bantuan ilmu Ushul Fiqih atau Qawaid Fiqhiyyah. Baru, dari sana kita dapat mengeluarkan sebuah hokum, yang hemat saya, lebih objektif dan lebih mewakili.

Hemat saya, sujud atau solat dengan menggunakan sajadah, tikar atau sejenisnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Dan solatnya tentu sah. Bahkan, pendapat ini sudah merupakan kesepakatan seluruh para ulama (Ijma'), sebagaimana dituturkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap Shahih Muslim (5/163), sebagaimana akan saya kutipkan di bawah nanti. Dan saya hanya dapat mengurut dada, ketika dikatakan di atas bahwa sujud yang dahinya tidak menempel ke tanah, maka solatnya tidak sah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua, amin.

Hemat saya, solat di atas sajadah atau di atas tanah, keduanya sah-sah saja. Termasuk juga sujud yang langsung menempelkan dahinya ke tanah, dengan sujud yang menempelkannya pada sajadah, tikar, permadani, karpet, juga sah-sah saja. Inti sesungguhnya, hemat saya, bukan masalah tanah atau sajadahnya, akan tetapi suci tidaknya tempat solat atau tempat sujud dimaksud. Jika tanah atau sajadah tersebut suci, tentu solatnya pun sah, dan jika ada najisnya, maka solatnya menjadi tidak sah.

Dalil akan bolehnya sujud di atas karpet atau sajadah, sangatlah banyak. Saya akan mengetengahkan di antaranya saja:

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim disebutkan di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: سَمِعْتُ خَالَتِي مَيْمُونَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ تَكُونُ حَائِضًا لَا تُصَلِّي، وَهِيَ مُفْتَرِشَةٌ بِحِذَاءِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى خُمْرَتِهِ، إِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي بَعْضُ ثَوْبِهِ. [رواه البخاري (326) ومسلم (513

Artinya: "Abdullah bin Syaddad berkata: "Saya mendengar bibiku, Maimunah, isteri Rasulullah saw, bahwasannya suatu saat ia dalam keadaan haid, sehingga ia tidak solat. Ia kemudian duduk di halaman masjid Rasulullah saw, sementara Rasulullah saw sedang melakukan solat di atas sajadahnya. Jika beliau sujud, sebagian baju beliau mengenai kepada saya" (HR. Bukhari, hadits nomor 326 dan  Muslim, hadits nomor 513)

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Fathul Bari (1/430) mengatakan: "Kata al-Khumrah—dengan membaca dhammah huruf kha' nya, dan membaca sukun huruf mim nya--, menurut Athabary adalah tikar kecil (sejadah) yang dibuat dari pelapah kurma. Dinamakan demikian, karena alat tersebut dapat menutup muka dan kedua telapak tangan dari panas atau dinginnya tanah. Jika alat tersebut besar, maka disebut dengan hasher (tikar besar).

Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapatnya al-Azhary dalam Tahdzîb nya, dan sahabatnya yang bernama Abu Ubaid al-Harawy serta para ulama setelahnya.

Dalam kitab an-Nihâyah ditambahkan: 'Dinamakan khamrah (tikar kecil), apabila ukurannya seperti itu'. Ia juga berkata: 'Dinamakan khamrah, karena jahitannya (atau anyamannya) tertutup dengan pelapahnya'. Al-Khattabi juga berkata: 'Khamrah dalam istilah sekarang adalah sajadah yang biasa dipakai sebagai tempat sujud bagi orang yang solat'.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh para ulama sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar di atas, Imam Nawawi juga menguatkannya. Bahkan, dalam Syarah nya terhadap Shahih Muslim (5/163), Imam Nawawi membuat satu bab berjudul: 'Bab bolehnya solat berjamaah di atas kendaraan, serta bolehnya solat di atas tikar, sajadah dan baju'.

Masih di tempat yang sama, Imam Nawawi—yang merupakan pioneer dalam Madzhab Syafi'i—ketika menjelaskan salah satu hadits, ia berkata: "Hadits tersebut juga menjadi dalil bolehnya solat di atas tikar atau semua bahan yang tumbuh di atas tanah. Dan hal ini sudah merupakan kesepakatan (ijma') seluruh ulama.

Adapun riwayat dari Umar bin Abdul Aziz (yang mengatakan bahwa ia membawa tanah lalu disimpan di atas sajadahnya, lalu ia sujud di atasnya=pent) yang seolah bersebrangan dengan hadits ini, perlu dipahami sebagai anjuran untuk bersikap tawadhu, di antaranya dengan jalan sujud langsung mengenai tanah.

Hadits ini juga mengandung pengertian lainnya bahwa pada hokum asalnya, baju, amparan, tikar, atau yang sejenisnya adalah suci, sampai ada bukti akurat bahwa ia terkena najis'.

Hadits lainnya yang menjadi dalil bolehnya solat atau sujud di atas sajadah, tikar dan sejenisnya adalah:

عنْ جَابِرٍ قال : حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ.قَالَ : وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ. [رواه مسلم (519).

Artinya: "Jabir berkata: "Abu Said al-Khudry pernah masuk ke rumah Rasulullah saw. Abu Sa'id berkata: "Aku melihat Rasulullah saw sedang solat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw solat dalam satu baju yang menyelimutinya" (HR. Muslim).

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap Shahhih Muslim (4/233, 234) menuturkan: "Matan hadits yang berbunyi: 'Aku melihat Rasulullah saw sedang solat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya', menjadi dalil bolehnya solat di atas sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang solat tersebut dengan tanah. Baik sesuatu tersebut berupa baju, tikar, wol, rambut atau selain dari itu, dan baik alas tersebut  terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah ataupun tidak.
Adapun jika alas solat tersebut terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah, maka tidak makruh solat di atasnya. Adapun solat di atas alas yang terbuat bukan dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti permadani atau bulu, maka seluruh ulama sepakat (Ijma'), solat di atasnya tetap sah.
Hanya saja, jika ia solat langsung di atas tanah, tentu lebih utama, kecuali karena suatu keperluan mendesak, seperti karena tanah tersebut panas atau dingin atau sejenisnya. Hal ini karena rahasia penting dari solat adalah rasa tawadhu dan kepasrahan, dan Allah tentu lebih mengetahui".

Demikian juga dengan hadits di bawah ini: 

عن أنس بن مالك قال: كنَّا نُصلِّي مع النَّبي صلى الله عليه وسلم فَيَضعُ أحدُنا طرفَ الثوبِ من شدَّة الحرِّ في مكان السجود. [رواه البخاري ومسلم

Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Kami solat bersama Rasulullah saw, dan setiap kami meletakkan ujung baju di tempat sujud, karena sangat panas" (HR. Bukhari (hadits nomor 378) dan Muslim (hadits nomor 620).
Imam Bukhari menyimpan hadits di atas dalam bab yang diberinya judul: "Bab: Sujud di atas baju karena sangat panas".

Imam Hasan berkata: "Para sahabat sujud di atas sorban dan penutup kepala, sedangkan kedua tangannya berada di tangan bajunya".
Demikian di antara hadits shahih yang menjadi dalil sah dan bolehnya solat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.

Kemudian, perlu juga saya sampaikan, bahwa dalil-dalil yang diutarakan dalam pertanyaan di atas, bukan sebagai batasan bahwa sujud itu harus nempel langsung ke tanah, dan jika tidak, maka solatnya tidak sah. Ini hemat saya, tidak tepat.

Dalam penetapan sebuah hukum, kita tidak boleh terjebak hanya dengan melihat satu atau beberapa hadits lain. Tapi kita perlu melihat banyak hadits lainnya, sehingga keputusan hokum yang dihasilkan tidak terkesan literal.

Dalil-dalil yang disampaikan dalam pertanyaan misalnya, memang ada hadits yang mengatakan hal itu. Namun, dalam hadits lainnya, masih dari rawi di atas, justru sebaliknya, melihat Rasulullah saw solat di atas sajadah. Berikut saya kutipkan hadits-hadits dimaksud.

Di atas disampaikan bahwa Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw tidak menyandarkan dahinya selain dengan batu atau tanah. Namun, dalam hadits lain, masih dari Sayyidah Aisyah, Rasulullah saw solat dan sujud di atas tikar atau amparan, dan beliau ketika sujud tidak langsung mengena tanah, akan tetapi mengena tikar atau penghalang dimaksud. Ini artinya bahwa, hadits yang disampaikan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, hanya saja menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang sujud langsung mengena tanah, dan terkadang memakai tikar atau amparan.

Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهِيَ مُعْتَرِضَةٌ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجِنَازَةِ } وَفِي لَفْظٍ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ عُرْوَةَ " { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ } [أخرجه البخاري

Artinya: "Dari Aisyah, adalah Rasulullah saw beliau pernah solat di atas kasur (tikar, ampar) keluarganya, sedangkan Aisyah terlentang seperti mayat, di antara Rasulullah saw dan arah kiblat". Dalam riwayat dari 'Irak dari Urwah, bahwasannya Rasulullah saw solat di atas kasur yang biasa dipakai tidur oleh Rasulullah dan Aisyah, sementara Aisyah terlentang di antara beliau dengan kiblat" (HR. Bukhari).

Demikian juga dengan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri yang disampaikan dalam pertanyaan. Ternyata banyak hadits dari Abu Sa'id al-Khudry sendiri yang menjelaskan akan bolehnya solat dan sujud di atas sajadah atau sejenisnya. Hadits dimaksud adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري : أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْته يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ  [رواه مسلم
Artinya:"Dari Abu Said al-Khudry, bahwasannya ia masuk ke Rasulullah saw. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw solat di atas tikar dan beliau sujud di atasnya' (HR. Muslim).

Demikian juga dengan riwayat Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain disebutkan:

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى بِسَاطٍ  [رَوَاهُ أَحْمَد وَابْنُ ماجه

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw solat di atas tikar" (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Dari sini semua nampak, sekali lagi, bahwa hadits-hadits yang diutarakan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, bahwa sujud harus terkena dengan tanah langsung, akan tetapi sebagai pilihan, dan penjelasan, bahwa boleh juga kita sujud langsung di atas tanah (bahkan, sebagian ulama, termasuk Ibnu Tamiyyah berpendapat solat atau sujud langsung di atas tanah lebih baik dari pada di atas sajadah dan sejenisnya). Hadits di atas juga sekaligus menjadi dalil bolehnya solat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (3/234) mengatakan: "Tidak mengapa solat di atas tikar, permadani yang terbuat dari wol, rambut, bulu, atau baju yang terbuat dari kapas, kain atau semua benda suci lainnya. Hal ini karena Umar pernah solat di atas hamparan, Ibnu Abbas solat di atas permadani, Zaid bin Tsabit, dan Jabir solat di atas tikar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Anas solat di atas tikar yang ditenun. Pendapat ini adalah pendapatnya seluruh ulama. Hanya saja, ada satu riwayat yang dinisbahkan kepada Jabir bahwasannya ia membenci (memakruhkan) solat di atas tikar yang terbuat dari hewan, dan dianjurkan solat di atas tikar yang terbuat dari tanaman".

Sedangkan ucapan Imam Syafi'i yang disampaikan oleh penanya di atas, bukan sebagai pendapat tidak bolehnya solat di atas karpet atau sajadah. Ucapan Imam Syafi'i di atas adalah pendapat bahwa ketika sujud, jangan sampai ada penghalang antara dahi dengan tempat sujudnya, baik tempat sujudnya itu tanah atau karpet. Karena itu, dalam madzhab Syafi'i, orang yang ketika sujudnya ada penghalang antara dahi dan tempat sujudnya, maka solatnya dinilai tidak sah. Sedangkan menurut jumhur ulama hanya makruh saja.

Karena itulah Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (22/174) nya mengatakan: 'Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang bolehnya solat dan sujud di atas tikar (karpet atau permadani) jika alas tersebut berasal dari tanah (tanamann yang tumbuh di atas tanah), seperti tikar dan sejenisnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang makruh tidaknya solat di atas tikar yang terbuat bukan dari yang tumbuh di atas tanah, seperti dari kulit hewan, bulu wol dan sejenisnya. Sebagian besar ulama memberikan keringanan juga (membolehkan juga) untuk semua itu. Dan ini merupakan madzhabnya para ahli hadits, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahamd, dan juga madzhabnya ulama Kufah, seperti Abu Hanifah dan lainnya.
Mereka, di antaranya, berdalil dengan hadits dari Aisyah tentang solatnya Rasulullah di atas firâsy (kasur atau tikar). Dan kata firâsy (tikar) tersebut terbuat bukan dari yang berasal dari tanah, akan tetapi dari kulit dan dari wol".  

Demikian, semoga jelas, wallahu a'lam bis shawab.

Wassalam

Tiada ulasan: